Mas An (Damtoz Andreas) lebih
setia pada kebebasan yang ia perjuangkan. Warna ungu puisi-puisinya seperti
menjadi branding bagi dirinya. Tak ada puisi yang celelekan,
apalagi penuh pisuhan. Ia tak mengajak merenung, hanya menyajikannya.
Selebihnya ia lepas liarkan suguhannya itu. Mau dimakan, dibuang, dimuntahkan,
atau bahkan untuk pakan ternak sekalipun Mas An sepertinya tak peduli. Antologi
puisi ini menjadi bervariasi. Penting bagi sampeyan untuk membacanya
bukan sebagai puisi teks, puisi artikulasi. Namun perlu dibaca sebagai pesan
dari langit dengan bekal perangkat puitik masing-masing pembacanya sebagai
antena penerima (Edhie Prayitno Ige)